Seks Bugil Istri Pergi, Selingkuh Lagi

Seks Bugil Saya adalah seorang laki laki biasa yang baru saja ditinggalkan oleh istri saya, karena ada masalah yang masing-masing tidak mau mengalah. Akhirnya dia memilih pergi dari saya. Dan karena kepergiannya, kini flat yang biasanya kami tempati itu jadi punya dua kamar kosong.

Di tempat kerja, sayapun sudah tidak banyak bercanda seperti biasanya. Dan itu yang membuat salah satu wanita teman kerja saya merasa simpati pada saya. Sehingga setelah selesai jam kerja, kami pulang bareng. Selama di dalam tram saya banyak menjawab pertanyaannya tentang kepergian istri saya. Sehingga kami tidak banyak menaruh perhatian pada macetnya kota Melbourne pada jam-jam selesai kerja seperti ini.

Tanpa terasa kami sudah berada di dalam tempat tinggal saya, setelah saya persilakan dia untuk mengambil apa yang dia mau di kulkas, saya langsung ke kamar mandi untuk menumpahkan air pipis yang sejak dari tadi sudah di ujung kemaluanku.

Sekembalinya saya keruang tamu, teman saya sudah duduk sambil baca baca majalah dengan satu kaleng Coca-Cola. Sayapun duduk di sampingnya. Tapi tidak terlalu rapat. Saya hidupkan TV kebetulan acara berita nasional negara ini.

Kamipun bercerita panjang lebar tentang teman saya itu, seperti sudah berapa lama dia telah meninggalkan Hongkong tempat asalnya. Tapi setiap kali dia menjawab pertanyaanku dia selalu tersenyum sambil matanya memandang ke arah selangkanganku. Aku langsung melirik selangkanganku, rupanya aku lupa men-zip-nya. Langsung kutarik zip-nya, sambil bercanda padanya.
"Maklumlah Nov, soalnya udah lama sarangnya pergi!", Kataku pada Novi.
"Memangnya sudah berapa lama burungmu tidak masuk kandang?", Novi membalas candaku sambil meneguk Coca Cola dengan sedikit senyum di bibirnya.
"Kira kira 5 minggulah, emangnya kenapa nanya nanya?", Aku meneruskan sambil mencoba membetulkan posisi dudukku.
"Akh, aku nggak percaya. Mana ada sich laki laki yang sudah pernah begituan akan tahan selama itu untuk tidak melakukannya?", Bantahnya sambil senyum.
"Memang sich, aku nggak tahan. Jadi selama ini aku pakai tangan aja", Jawabku.
Sambil tertawa lebar, Novi menghampiriku. Dan Novi duduk di sebelahku, rapat sekali."Perlu dibantu?", Tanyanya sambil tangan kanannya meraba-raba penisku.

Novi memang gadis Hongkong yang menawan, diusianya yang dua puluhan dia sangat menarik setiap mata laki-laki yang memandangnya. Karena dengan buah dada dan bongkahan pantatnya yang lebih besar dari ukuran rata-rata orang tempat asalnya. Aku jadi berani, kurangkul pundaknya sambil kulumat bibir yang berlipstick merah muda menawan itu.

Novipun membalas dengan nafasnya yang semakin membuatku untuk mempererat rangkulanku. Aku merasa sedikit sakit pada penisku yang sudah sangat keras karena rabaan Novi. Dengan tak sabar kulepas rangkulanku dari pundak Novi dan dengan kedua tanganku kubuka celanaku sambil tetap duduk. Agak susah memang. Tapi berhasil juga.

Kudengar Novi mendesah bersamaan dengan tangannya yang menggenggam langsung penisku yang hanya pas-pasan dengan lingkaran tangannya itu. Kamipun kembali berpagutan, hanya kali ini tangan kiriku telah meremas-remas buah dadanya yang kenyal dan semakin kenyal itu. Sedangkan tangan kananku membelai-belai tengkuknya. Novi semakin memperdengarkan desahnya.

"Ed, kita ke kamarmu saja.., ayo Ed, aku sudah tak tahan nich?", Novi memohon mesra. Aku pun berdiri, tapi ketika aku ingin membuka pakaianku, aku tersentak kaget karena Novi sudah menarik penisku sambil menanyakan di mana kamarku. "Pelan pelan Nov, sakit nich!", protesku atas tangan Novi yang menggenggam penisku dengan sangat ketat itu.

Aku berjalan sambil membuka bajuku ke arah kamarku yang telah kutunjukan pada Novi. (Sebenarnya aku tak mau menggunakan kamar dimana aku dan istriku tidur sebelum istriku itu pergi. Tapi bagaimana lagi. Sudah nafsu sekali saat itu).

Sesampai di kamar Novi dengan tergesa membuka seluruh pakaiannya. BH-nya, CD-nya. Semua dibuka dengan tergesa. Lalu Novi langsung menghampiriku yang sudah lebih dulu berbaring telentang di atas kasur sambil mengocok perlahan penisku agar semakin tegang, sambil melihat Novi membuka pakaiannya.

Novi berbaring miring di sebelahku, bibirnya mencari bibirku sedangkan tangan kanannya menggantikan tanganku untuk mengocok-ngocok penisku. Aku mendesah. Novipun semakin beringas menciumi seluruh wajahku. Telingakupun tak lepas dari sapuan lidahnya. Aku merasakan nikmat bercampur geli yang tak terkira.

Jilatan Novi semakin turun ke arah leherku, dadaku dan kedua puting payudaraku juga dililitnya dengan lidah. Sambil tangannya semakin cepat mengocok penisku yang sedikit terasa sakit karena genggamannya terlalu keras.

Jilatan Novi telah berada di atas pusarku, lidahnya dicoba untuk masuk dalam lubang pusarku, dapat kudengar desahnya. Walau desahku lebih besar darinya. Kini lidah Novi menyisir bulu-bulu penisku. Aku semakin tak tahan. Tapi aku menunggu, karena aku tahu kemana tujuan sebenarnya jilatan lidah Novi itu.

Ternyata aku salah, kukira Novi akan melahap penisku. Ternyata Novi malah menjilat jilat kedua bijiku bergantian. Tangannya tak lepas mengocok penisku. Sambil sesekali jari jempolnya menyapu ujung penisku yang telah basah karena air nikmatku telah membasahi bibir ujung kemaluanku. Geli dan nikmat sekali waktu Novi melakukan itu. Aku tersentak karenanya.

Karena waktu Novi melakukan itu badannya agak nungging di sampingku, maka kucoba meraih bongkahan pantatnya. Kuusap-usap, Novi mendesah nikmat rupanya. Jariku tak mau berhenti sampai disitu, jariku mencari-cari lubang kemaluannya. Setelah jariku menemukannya ternyata sudah basah sekali. Semua itu membuat jariku semakin mudah untuk mencari lubangnya.

Kusapu lubangnya dengan jariku sambil sekali-kali kumasukan jari telunjukku ke dalam lubangnya. Novi mendesah hebat sambil melepas jilatan lidahnya dari kedua bijiku. Kuraih pantat Novi agar tepat berada di atas wajahku. Kini kedua tanganku beraksi atas bagian belakang tubuh Novi. Jari telunjuk tanganku yang kanan kumasukan ke dalam lubang vagina Novi sambil memaju mundurkan. Sedangkan jari telunjuk tangan kiriku menggosok gosok clitorisnya. Dapat kulihat dari bawah selangkangannya, Novi membuka mulutnya lebar tanpa bersuara merasakan nikmat.

Ketika niatku hendak menggunakan lidahku untuk menjilat vaginanya, aku merasakan nikmat dan sedikit ngilu yang tak terkira. Rupanya Novi telah melahap bagian kepala penisku. Lidahnya melilit-lilit di atas permukaan kepala penisku.

Akupun ingin menandinginya dengan mejilat-jilat permukaan lubang vagina Novi. Sambil sekali-kali kucoba untuk memasukan lidahku kedalam vaginanya. Agak asin memang, tapi yang lebih terasa adalah nikmatnya. Semakin nikmat lagi saat kudengar Novi mengeluh karena jilatan lidahku.

Novi telah memasukan penisku setengahnya dalam mulutnya sebentar sebentar dinaikan kepalanya, kemudian diturunkan lagi. Yang membuat aku merasa nikmat adalah saat Novi menurunkan wajahnya untuk melahap penisku, karena Novi telah mengecilkan lingkaran mulutnya. Sehingga hanya pas sedikit ketat ketika bibirnya menelusuri penisku dari atas ke bawah. Oh nikmat sekali.

Aku hampir saja muncrat kalau aku tidak segera minta Novi membalikan badannya hingga wajahnya berhadapan denganku. Aku membalas senyumnya yang kelelahan menahan nikmat yang baru saja kami alami.

Kucium lagi mulutnya yang sangat becek oleh air liurnya. Lalu kubalikan Novi agar berada dibawahku. Kulebarkan selangkangannya kugenggam penisku dengan tangan kananku, lalu kugosok-gosok kepala penisku pada permukaan kemaluannya.
"Oh.., Ed.., terus Ed.., aahh.., nikmat sekali.., sshh", erang Novi. Akupun mempercepat gesekannya, Novi menggeleng gelengkan kepalanya.

Lalu dengan tiba tiba kutancapkan penisku ke dalam vaginanya yang sudah banjir itu dengan satu hentakan keras, masuklah 3/4 nya penisku dengan leluasa. Bersamaan dengan itu Novi berteriak sambil badannya sebatas bahu terangkat seperti hendak berdiri matanya membelalak menghadapi tikamanku yang tiba-tiba itu.
"oohh Edwiinn.., enaak.., terus.., Ed.., terus.., lebih cepat Ed.., ayo Ed.., terus.., aahh", erang Novi sambil menghempaskan kembali bahunya ke kasur.

Kedua tangan Novi membelai wajahku sambil menggigit bibirnya yang bawah matanyapun menunjukan bahwa saat ini Novi sedang merasakan nikmat yang tiada tara. Akupun semakin cepat memaju-mundurkan penisku. Nikmat yang kurasakan tiada bandingnya. Vagina Novi masih boleh dibilang sempit.

"Enak Nov?", tanyaku padanya sambil memaju-mundurkan penisku. Novi tidak menjawab, hanya desahannya saja yang semakin jelas terdengar.
"Enak nggak Nov?", tanyaku lagi. Novi menjawab dengan anggukan kecil sambil menggigit kembali bibir bawahnya.
"Jawab dong Nov, nikmat nggak?", paksaku walaupun ini adalah pertanyaan bodoh.
"Luar biasa Ed.., sshh.., aku hampir keluar nich oohh", katanya terputus putus.
"Aku masukin semuanya yach Nov?", tanyaku padanya yang sedang melayang.
"sshh.., em.., emangnya belum semuanya dimasukin?", Novi balik bertanya heran sambil menatapku dengan sayu.
"Belum!", Jawabku singkat sambil terus maju mundur.

Tangannyapun bergerak ke bawah untuk memastikan belum semua penisku masuk ke dalam lubang vaginanya. Ketika tangannya berhasil menyentuh sisa penisku yang masih di luar, aku merasa tambah nikmat.
"Oohh.., Ed masukin Ed.., masukin semuanya Ed.., aahh", pintanya sambil menarik pinggangku dengan kedua tangannya dan matanyapun terpejam menantikan.

Kucoba menahan tarikan tangan Novi pada pinggangku, agar masuknya sisa penisku tidak terlalu cepat. Aku ingin memberikan kenikmatan tak terlupakan padanya.
Benar saja, ketika sedikit demi sedikit sisa penisku masuk, Novi mendesis seperti ular yang berhadapan dengan musuhnya. "Sshh.. sshh", sambil matanya terpejam ketat sekali menahan nikmat telusuran penisku ke dalam vaginanya. Kedua tangannyapun menjambak-jambak rambutnya sendiri.

Tanpa diduga kucabut penisku, hanya tinggal kepalanya saja yang masih tenggelam. Novi seperti ingin protes, tapi terlambat. Karena aku telah menekannya lagi dengan sekali tancap masuklah semua penisku.
"Edwiinn!", teriak Novi keras sekali sambil tangannya memukul-mukul tempat tidur.
Aku semakin percepat gerakanku, walaupun aku sudah merasa sedikit lelah dengan pinggangku yang sejak tadi maju mundur terus.
"Terus Ed.., oohh.., terus.., teruss.., oohh.., oohh.., aahh".
Novi mengerang bersamaan dengan tercapainya Novi pada puncaknya, sambil tangannya meremas-remas sprei tempat tidur di kanan dan kirinya, badannya tersentak-sentak hanya putih yang kulihat di matanya.

Tapi aku masih terus memacu untuk menyusulnya, makin cepat, makin cepat lagi nafasku memburu. Bunyi nikmat terdengar dari dalam vagina Novi karena air nikmatnya itu.
"Oh Nov.., oohh.., aahh..", cepat kucabut penisku agar tak muncrat di dalam, kugenggam penisku, kuarahkan penisku ke perut Novi, di sanalah air nikmatku mendarat.

Novi cepat bangkit dan mendorongku agar telentang, kemudian Novi melahap separuh penisku ke dalam mulutnya. Lidahnya menjilat-jilat mulut kecil di ujung penisku. Aku merasa ngilu sekali dan tangan Novi yang mengocok-ngocok penisku seperti hendak memastikan agar keluar semua air nikmatku.
"Sudah Nov.., sudah.., ngilu nich.., uuhh.., sudah", pintaku padanya. Tapi Novi masih saja memaju-mundurkan mulutnya terhadap penisku yang semakin ngilu sekali. Setelah yakin tidak ada lagi air nikmat yang akan keluar dari penisku Novipun merebahkan kepalanya di atas perutku sambil memandangku dengan penuh kepuasan.

Kemudian keadaan membisu, hanya detak jam dinding yang mengingatkan akan kenikmatan yang baru saja kami alami. Kami memang mencoba untuk mengingat kembali kejadian yang sempat membawa kami ke awang-awang.

"Nov, sudah jam 8 nich. Kamu nggak pulang?", tanyaku memecahkan kesunyian. Novi seakan tak mendengar ucapanku. Kemudian dengan lembut kuangkat kepalanya dan keletakan di atas kasur. Akupun coba bangkit, tapi sebelum aku turun dari tempat tidur kurasakan tangan Novi memegang perutku.
"Mau kemana Ed?", tanyanya sambil melepas nafar panjang.
"Mau mandi dulu nich, lengket semua rasanya badanku", Jawabku sambil menoleh ke arahnya.
"Tunggu dikit lagi, kita mandi sama-sama" Novi memohon sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggangku.
Lalu kamipun pergi ke kamar mandi dan mandi berdua serta mengulanginya permainan seks yang sempat terputus tadi di kamar mandi. Setelah merasa puas kamipun istirahat sambil berpelukan hingga esok pagi.
Sejak kejadian itui saya dan Novi semakin akrab dan selalu mengulangi persetubuhan yang telah kami lakukan. Sampai akhirnya istrikupun pulang kembali ke apartemenku, tapi itu tidak membuatku lupa akan Novi. Kami sering melakukannya di apartemenku tatkala istriku tidak ada atau di kantor, hotel serta apartemen Novi bila istriku sedang di rumah.

Seks Bugil Keganasan Gelora Muda

Seks Bugil Sesampainya di rumah Nevo, kami langsung membopong Nevo keluar dari mobil. Di dalam, kami telah disambut oleh pembantu Nevo yang agak terbelalak melihat kondisi majikannya. Kami membawa Nevo ke dalam kamarnya dan merebahkannya di tempat tidur, selanjutnya secepat kilat mbok Surti mengambil alih tugas kami, membersihkan luka tusuk di perutnya, lalu mengamati luka itu lebih seksama.
"Yang ini sih ndak terlalu dalam Mas..!" sahut mbok Surti, tampaknya ia telah biasa mengurus majikannya itu, "Malahan ndak nembus sama sekali kok Mas!" lanjutnya kemudian.
Kami membiarkan Mbok Surti mengurus luka majikannya itu, dan meninggalkan mereka berdua. Di ruang tengah yang besar itu, tampak televisi flattron 37" dengan seperangkat audio setnya, speakernya dimana ya? Ooo..itu dia.. dua buah speaker kecil bermerk BOSE di dua sudut atas ruangan.

Ratih tampak sudah terbiasa berada di dalam rumah pribadi Nevo, yang telah meninggalkan rumahnya sejak 6 bulan terakhir.
"Dasar anak orang kaya!" pikirku.
"Nih!" seru Ratih pendek sambil menyodorkan segelas teh panas kepadaku.
"Thanks" jawabku singkat, kuhirup teh itu.
"Ya ampun! Pahit sekali!" Segera terasa bulu kudukku meremang, merindingku menjalar mulai dari leher hingga ke kaki, bahkan kulit kepalaku pun terasa merinding. Ratih tersenyum aneh menatapku, wajahnya masih tertunduk meniup teh panasnya sendiri, sambil matanya menatap ke arahku tajam.

Memang, kedengarannya aneh kan? Minum teh panas kok merinding? Akan saya jelaskan.
Dulu, ketika aku masih SMA aku telah tertarik dengan dunia klenik, dunia gaib, atau dunia supranatural, atau apapun lah sebutannya. Aku sempat berguru ke sana kemari, hingga akhirnya kutemukan guru yang paling cocok denganku. Ia adalah diriku sendiri. Dari dulu aku percaya bahwa ketika seorang manusia lahir, ia tidaklah sendiri, ia selalu ditemani oleh gurunya, yang biasanya adalah sukma atau spirit leluhurnya. Nah, kebetulan spirit di dalam tubuhku ini memiliki minuman kegemaran, yaitu teh pahit panas. Yang mana setiap kali aku minum, auranya akan selalu memasuki tubuhku untuk ikut menikmati. Weird ya? Well, masing-masing orang memiliki kepercayaannya masing-masing.

Ok.. Lanjut! Well, selanjutnya aku langsung terlelap dengan keasyikanku menikmati minuman tersebut di sofa, seakan tidak ada minuman lain yang lebih nikmat dari itu. Ratih juga duduk di sampingku sambil kedua tangannya memegang gelas tehnya, kakinya ditekuk, berusaha mengusir dinginnya AC, boots tingginya telah dilepaskannya sebelum ia meyeduh teh di pantry. Ketika aku sedang menghirup lagi minuman nikmat itu, kulirik Ratih di sisiku. Ia tengah menatapku dengan pandangan yang sangat lembut, keibuan.
"Enak tehnya Yang Mulia?" tanyanya.
Entah mengapa, aku merasakan situasi saat itu seperti pernah kualami sebelumnya, Deja Vu! Seketika itu juga kurasakan gelombang tenaga di dalam tubuhku menjalar dalam bentuk sensasi milyaran pasir yang berseliweran di tubuhku. Aku melotot kaget, dan berusaha menahan getaran-getaran aneh pada tubuhku, kuletakkan gelasku di atas meja dengan sangat hati-hati, dan kuhempaskan tubuhku kembali di sofa. Tubuhku meregang, pandanganku kabur dan beberapa saat kemudian kurasakan bagian dalam leher hingga wajahku bergetar, hingga terdengar seperti orang yang tengah mendengkur, tapi tidak terputus-putus, seperti seekor kucing yang sedang purring.

Ketika gelombang itu berangsur mereda, kudapatkan tubuhku telah berada di sebuah kamar berukuran sedang, dengan tempat tidur yang sangat empuk, dengan bed cover yang lembut, sebuah lampu meja yang tidak menyala berdiri di dekat sumber cahaya di dalam ruangan itu, sebuah lilin. Telingaku terdengar dengungan aneh, sepertisuara "Hmm.." yang panjang sekali. Tidak perlu kuperiksa lagi, aku yakin tubuhku telah dirasuki oleh sebuah kekuatan lain. Aku beranjak bangun dan duduk di atas ranjang. Di hadapanku tampak Ratih yang tengah berlutut, tanpa busana! Dan pada saat yang bersamaan aku merasa bahwa cewek ini pernah kukenal sebelumnya, bahkan sangat kukenal, tapi aku tidak tahu kapan, dimana, siapa dia sebenarnya. Ia berlutut dengan sangat anggun, kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha mulusnya, tubuhnya sangat indah, kulitnya kuning langsat, lehernya jenjang, bahunya tidak terlalu lebar dan juga tidak terlalu sempit, payudaranya indah membulat tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, pinggangnya ramping sekali, perutnya rata, di bagian bawah pusarnya tampak bulu-bulu halus membentuk garis ke arah bawah sekitar daerah pubis yang juga tampak halus, aku belum begitu yakin karena agak terhalang oleh tangannya.

Terlihat Ratih kini tengah memperhatikan wajahku dengan sangat teliti, dan baru sadar kemudian bahwa aku pun telah telanjang. Kudapati kejantananku telah berdiri tegak. Aku terperanjat dan berusaha menutupi tubuhku dengan tanganku karena aku tidak mendapati pakaianku di sekitarku. Ratih membiarkan kekikukkanku, dan tetap menatap wajahku.

"Yeah.. I'm sure! You're the one!" katanya belum dapat kumengerti.
"Selamat datang kembali, Yang Mulia!" lanjutnya.
Segera kukonsentrasikan pikiranku untuk mengetahui apa yang tengah terjadi, kupejamkan kedua mataku, dan mulai menerawang ke alam lain. Kutemukan diriku adalah seorang lelaki berusia sekitar 35-an, dengan pakaian tradisional Jawa, Sunda atau apa ini? Belum pernah kulihat pakaian seperti ini, ikat pinggang dari emas murni, bertelanjang dada, bagian bawah tubuhku terbalut kain dengan pola batik aneh yang belum pernah kulihat seumur hidupku (aku belajar sejarah seni dan budaya Indonesia Lama di kampusku dulu), sebilah keris yang juga aneh, tidak pipih seperti keris-keris pusaka pada umumnya, dan sebatang tongkat emas dengan bola pada ujungnya yang terbuat dari batu akik berwarna ungu kemerahan. Di kepalaku bertengger sebuah topi (mahkota) berbentuk trapesium memanjang ke atas dan terpotong memiring. Setelah mengerti kugeleng-gelengkan kepalaku dan kembali ke alam manusia.

Ketika kubuka mataku kembali, aku sadar bahwa Ratih adalah istriku di kehidupanku sebelumnya!Aku tersenyum, "Maafin aku Rat, aku 'lupa'..", sahutku perlahan, tidak terasa air mataku menetes hangat di pipiku, wajahku terasa panas, dan dadaku terasa sesak, kulihat Ratih pun berkaca-kaca, hidungnya memerah, dan kami menghambur saling berpelukan.

Terasa kembali terisi kekosongan yang ada selama ini. Kekosongan yang tidak pernah kusadari, rasa apa itu. Mengapa aku tidak pernah puas dengan hidupku, mengapa mudah sekali aku bosan berpacaran, mengapa gelisahku tiap malam menyulitkanku beristirahat. Rasa bahagia yang meluap-luap terasa dalam dadaku. Getar tubuh Ratih yang menahan tangisnya membuatku semakin terlelap dalam sensasi haru yang meledak-ledak.

Setelah semua mereda, kudorong tubuhnya sehingga aku dapat melihat wajahnya, tampak basah oleh air mata dan keringatnya menahan tangis tadi. Kuangkat dagunya agar ia menatapku. Ia hanya mampu memandang bibirku, wajahnya cantik sekali, rasa rindu menyeruak ke dalam dadaku, dan segera kukecup bibirnya dengan sangat cepat dan bergairah ia membalasnya, rasa rindu ini begitu menggelora, memaksaku untuk mendekapnya erat. Kami jatuh berpelukan di atas ranjang itu, sambil terus berciuman. Kulit tubuh telanjang kami saling bergesekan, menambah sensasi yang seakan baru sama sekali. Tubuh Ratih begitu hangat bersentuhan dengan tubuhku. Kami bergulingan di atas ranjang tersebut. Kakinya yang panjang memeluk pinggangku, serta tangannya memelukku dengan kuat, seakan ingin membenamkan tubuhnya kedalam tubuhku. Aku pun membalasnya, kupegang kepalanya sambil sesekali kubelai, dan kujilati lehernya yang jenjang. Ia mendengus keras seakan belum pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.

Aku terus menjilat turun ke bawah, dan ketika wajahku berpapasan dengan payudara indahnya, aku memandang sebentar ke arah matanya, ia hanya melirik sayu ke arahku, dadanya naik turun mengatur nafas, tiada kata-kata yang terlontar dari mulut kami. Hingga secara sangat mendadak kulumat puting kanannya dengan cepat, kuhisap sambil kumainkan lidahku pada permukaannya. Sontak tubuhnya menegang, dadanya dibusungkan seolah ingin memberikan lebih kepadaku. Jemari kiriku bermain dengan sangat lincah di atas puting kirinya, ia memeluk kepalaku, dan aku berhenti.

Kembali kutatap matanya, ia tersenyum nakal, kugeser wajahku dari payudara kanannya, perlahan sekali, kusentuhkan daguku sedikit pada permukaan kulit dadanya, kucium lembut belahan dadanya, perlahan sekali, dan wajahku berhenti pada payudara kirinya, aku masih hafal benar bahwa sensasi terbesarnya adalah pada puting kirinya. Kujulurkan lidahku menyentuh puting kirinya, perlahan sekali, bahkan seperti hampir tidak menyentuh. Tubuhnya terkejut-kejut menerima perlakuanku. Kupandang kembali matanya sambil kujilat sebentar-sebentar putingnya. Semakin lebar senyumnya. Dan semakin keras kejutan pada tubuhnya. Kukulum puting itu sebentar dan segera kulepaskan kembali sambil kuhisap cepat.

"Aah!" ia menjerit kecil.
Pinggulnya bergerak-gerak naik turun di bawah sana seakan ingin mendesakkan tubuhnya ke arah tubuhku. Aku tersenyum kecil, dan kusentuhkan batang kejantananku pada lipatan pahanya, dan kugeser perlahan sekali. Langsung kakinya memeluk pinggangku kembali dan pinggulnya bergerak-gerak mencari kejantananku untuk segera disentuhkan pada kewanitaannya. Aku menghindar, dan ketika ia sibuk mencari-cari, kembali kudaratkan mulutku pada putingnya dengan cepat, dan langsung menjilat di dalam dengan gerakan memutar dan menekan-nekan.
"Aaah! Aaah.. oow!" jeritnya sambil berusaha untuk melepaskan kulumanku.

Tampaknya ia sangat kegelian, dan ketika kulepaskan, kembali ia membusungkan dadanya memintaku untuk mengulanginya, dan memang kuulangi lagi, kembali ia berusaha melepaskan kulumanku, begitu seterusnya.
"Aaah! Nom! Gila kamu! Diapain sih? Aaah!" ia menjerit-jerit keenakan.
Aku terus melakukan kegiatanku, sambil kubelai-belai rambutnya, wajahnya berpaling ke kiri dan kanan, mencari-cari jemariku. Setelah kusodorkan jemari tangan kananku, segera ia melumatnya, dan dikulumnya dengan hisapan yang sangat kuat. Kehangatan dalam mulutnya sangat merangsangku, kulirik ke atas, kulihat ia sedang melakukan blowjob dengan jari tengahku. Tangannya sibuk mencari pantatku, dan ketika ia berhasil meraihnya, langsung ditekannya ke arah pinggulnya.

"Shh.. sebentar sayang.. bentaar.." sahutku menyabarkannya. Ia berhenti sambil berusaha mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, tidak terasa nafasku pun sudah mendengus-dengus menahan birahi. Dengan tergesa kuselipkan tanganku di antara tubuh kami, terus ke selangkanganku, memegang kejantananku, dan mendesakkannya ke dalam kewanitaannya. Ia membantunya dengan menopangkan tangannya pada pundakku, dan mengangkat tubuhnya sedikit sehingga aku bisa melesakkan kejantananku dengan lebih mudah. Kutekan kejantananku melesak ke dalam kewanitaannya, ketika bagian kepala kejantananku mulai terjepit kuat oleh kewanitaannya, perlahan kudorong pinggulku untuk semakin mengamblaskannya. Tidak terlihat halangan di dalam sana, berarti ia telah tidak perawan lagi, dan ketika kejantananku amblas semua, ia mendesah lirih panjang dengan mulut setengah terbuka, wajahnya berpaling ke samping, dengan matanya menatap kosong ke depan.

"Bagus ya! Selama ini udah latihan rupanya!" kataku sambil tersenyum menyadari dirinya telah tidak perawan lagi.
"Abis kamunya juga sih.. nnhh.. yang kelamaan datengnya.. hh.." jawabnya dengan nada seperti orang yang sedang menahan sesuatu.
Sekali lagi kutekan kejantananku ke dalam tubuhnya, hingga kurasakan gelombang tenaga aneh yang menyebar dari antara kedua kemaluan kami ke dalam tubuhku.
"Do you feel that.. hh.. Nom? Aaahh..! Do you feel that?" sahutnya setengah berteriak.
Aku hanya menganggukkan kepala sambil memejamkan mataku, berusaha untuk tidak melewati sensasi nikmat ini.

Terasa kembali titik-titik pasir tadi di dalam tubuhku, hangat tertebar. Kudiamkan kejantananku tanpa bergerak hingga sensasi itu mereda. Ketika suasana tubuh kami agak santai, kukedutkan kejantananku di dalam kewanitaannya, seperti sedang menghentikan pipis. Ia membelalak sambil tersenyum, dan membalasnya segera. Kembali kukedutkan dua kali, dan ia membalasnya dua kali pula. Kami langsung terbahak-bahak menyadari lucunya kelakuan kami itu. Kugelitik pinggangnya dan ia semakin tergelak dan mendekapkan wajahku ke dadanya. Setelah tenang, kutatap matanya dalam, ia membalasnya dengan senyum terindahnya, senyum lugu seorang wanita yang merasa bahagia. Kukecup dahinya, turun ke hidungnya, kami adukan hidung kami berdua, dan kudaratkan bibirku di atas bibirnya. Bibir kami tidak terbuka dan hanya saling bersentuhan, kugesekkan permukaan bibirku pada bibirnya, ia membalasnya, sementara kedutan demi kedutan semakin gencar di bawah sana.

Dan akhirnya perlahan, kutarik kejantananku keluar sedikit dengan gerakan yang sangat perlahan, responnya luar biasa! Wajahnya mendongak ke atas, mulutnya setengah terbuka, matanya setengah menutup. Ketika itu pula kukulum bibir bawahnya dengan sangat lembut, ia membalas dengan mengulum bibir atasku.
Nada suaranya bergetar menahan sensasi, "Aaahh..!".
Kembali kudorong dengan sangat perlahan kejantananku kedalam kewanitaannya. Terasa sangat licin, lembab, halus, hangat, dan sangat lembut menggesek permukaan kulit kejantananku. Ketika kutarik kembali, terasa bibir-bibir kemaluannya agak terbetot keluar, karena ia sedang berusaha untuk mencengkeram kejantananku. Pegangan tangannya pada punggungku terasa sangat keras, telapak tangannya tidak menempel pada punggungku, melainkan punggung tangannya yang menekan keras.

Belum sempat kudorong kembali kejantananku, tiba-tiba ia menarik mundur pinggulnya, kejantananku terlepas! terasa jepitan kewanitaannya terakhir pada kepala kejantananku.
Lalu kudengar ia berteriak keras sekali, "Aaakhh.. hh!"
Sekarang aku yakin benar bahwa Ratih memang istriku. Ia tidak pernah mau merasakan orgasmenya ketika kejantananku sedang berada di dalam kewanitaannya. Ia memelukku dengan erat, kubiarkan ia menikmati platonya, lalu tangannya bergerak ke bawah, mengelus-elus pantatku. Kupegangi kepalanya, kuperhatikan wajahnya, alisnya berkerut, matanya terpejam keras dan mulutnya terbuka. She was so damn beautiful!

Ketika ia mulai tenang, ia menatapku dan mendadak dengan cepat sekali mebalikkan tubuhku sehingga ia berada di atasku, menduduki pahaku, wajahnya menengadah ke atas, memejam dan tangan kirinya memegang pangkal kemaluanku dengan telapak membuka, sementara telapak tangan kanannya diletakkan persis di atas lubang kemaluanku. Dan tiba-tiba saja, kurasakan gelombang orgasme bergolak di dalam kantung kejantananku, dan menyemburat melalui batang kemaluanku, terus menuju ke arah kepala kejantananku, lalu Ratih menekan permukaan telapaknya pada lubang kemaluanku dan Beng! Kurasakan kehampaan yang sangat nikmat, sunyi, putih. Sementara tubuhku terhajar oleh gelombang tenaga yang aneh sekali rasanya, namun aku merasa seperti pernah mengalami ini sebelumnya. Another De Javu!

Ketika aku kembali kepada kesadaranku, kulihat Ratih tengah tersenyum memandangiku, tubuhnya berbaring menyamping, kepalanya ditopangkan pada tangan kirinya, tangan kanannya pada dadaku, sementara kaki kanannya memeluk pahaku.
"Earth calling Anom, come in Anom!" sahutnya meledek, "Lama bener perginya, kemana aja sayang?" lanjutnya.
"Uuuhh..!" aku mendesah.
Kugelengkan kepalaku sedikit, dan berkata pelan, "Lagi dong!"
"Uwheenak aja!" jawabnya riang.

Kami kembali berciuman. Kini Ratih membaringkan kepalanya pada dadaku, jemarinya memainkan puting dadaku perlahan. Kurengkuh punggungnya sehingga semakin merapatkan tubuhnya pada tubuhku, kakinya pun semakin rapat memeluk pinggul dan pahaku, terasa geli sedikit karena sentuhan rambut pubisnya pada pinggulku. Kami diam beribu bahasa, saling melamun sambil mambelai.

Seks Bugil Cinta Tak Terpisahkan

Seks Bugil Enam bulan sejak kepergian Ngatinah, hidupku terasa sepi. Bahkan kopi yang kubuat sendiri terasa sangat kecut hari ini. Angin panas di depan rumah seakan hendak masuk dan membakar daging-daging tua ini. Ahh Ngatinah, seandainya kau masih ada, tentu hidup tidak sesepi ini. Anak-anak yang sudah di negeri Jiran, justru tidak pernah mengingat kita, selain menunjukkan eksistensi mereka dengan selembar wesel.

Kulangkahkan kakiku ke luar rumah, menatap halaman yang dipenuhi dedaunan, menikmati angin panas yang seakan berebutan menggerogoti tulangku dan membuatku merasa linu dan pegal. Kududukkan tubuhku di dipan bambu kecil di teras. Kupandangi pohon-pohon bambu yang bergerak diterpa angin. Menikmati sore ini dengan Ngatinah, adalah sesuatu memori yang membuatku ingin segera pergi menyusulnya.

Kenangan saat perjuangan tempo dulu membangkitkan sejenak gairahku, kurasakan hangat Ngatinah muda membelai tubuhku di sela-sela dentuman bom dan desing peluru. Rambutnya yang tergerai bagaikan tirai malam yang menyelimuti dunia memberikan kehangatan di sela-sela keheningan sunyi malam dan suara serangga. Lekuk-lekuk tubuhnya yang sempurna mengingatkanku kepada film-film yang sering diputar Jepang masa itu. Film yang selalu dipropagandakan dengan bujuk rayu kenikmatan rasa persaudaraan dengan Nippon. Bibirnya yang merah masih meninggalkan kesan sensual, apalagi saat aku mengecupnya untuk yang terakhir kali.

Semua kenangan itu sejenak membuatku terharu, ingin rasanya meneteskan air mata, seandainya saja aku masih bisa. Namun tempaan hidup yang keras sebagai seorang tentara peta membuat perasaanku seakan beku terhadap yang dinamakan kecengengan.

Ngatinah, seandainya aku bisa kembali pada jaman itu. Dentuman granat nanas menyadarkanku, membuatku sejenak panik dan meraih tubuh telanjang Ngatinah dan menelungkupkannya di bawah kasur.
"Bangsat," pikirku.
"Hampir saja." Belanda gila.
"Mas, Tinah takut."
"Tenang sayang, toh aku belum sempat mengelonimu. Tenang saja. Jangan keluar, masuk bunker, ajak bapak dan ibu."
"Tapi kalau mereka tahu Mas di sini.."
"Sudahlah, cepat ke sana! Ribut saja, aku harus bergegas."
Kuraih baju-bajuku. Bergegas mengencangkan ikat pinggang, dan meraih senapan lantakku yang terletak di meja. Dengan tanpa berpikir panjang, kukenakan topi petku dan mengambil langkah seribu keluar.
"Gus, 'nang 'ndi wae?" (Gus, kemana saja?)
"Wah, 'jek enak-enak bareng Ngatinah.. asu tenan." (Wah, masih enak-enak sama Ngatinah.. anjing betul)
"Edan kon iki, Londo nyerang kok malah ngentu." (Gila kamu, Belanda nyerang kok malah bersetubuh)
"Raimu ngentu, lagi arep wis di-bom.. hahahaha." (bersetubuh mukamu, baru saja mulai sudah dibom.. hahahaha)
"Hahahahaha.."
Parto menghentikan ketawanya, dan mendadak mataku perih terkena cipratan darah yang menyembur dari pelipis kepalanya.
"Bangsat!"
Mendadak aku menjadi kesetanan. Yang kusadar aku mendadak sudah berlari keluar dari benteng karung dan mengeluarkan kelewangku dari pinggang, membacokkannya ke segala arah, berharap satu atau dua buah kepala Belanda menggelinding. Kulompati mayat-mayat temanku yang bergelimpangan di jalan, demi Tuhan aku akan mati di sini, namun ketakutanku sudah lenyap.
"Allahu akbar!!"

Kurasakan air mata mengalir di pipiku, kenangan bersama Parto saat di desa terbayang sekilas di benakku, membakar emosi dan kenekatanku. Sesuatu mendadak menjatuhkanku ke tanah, tepat di saat aku merasakan sesuatu menembus paha kurusku. Sebuah kepalan tangan menghantam rahangku, dan segalanya mendadak menjadi gelap.

"Bocah.. moso.. wae"(Anak ini? Ada-ada saja.)
"Iyo.. edian tenan.. be'e"(Iya sudah gila mungin dia)
Gumaman-gumaman di sekelilingku membuatku sedikit tersadar. Kulihat sekelilingku, ternyata aku sudah berada di penampungan tentara di lorong sempit kamp palang merah.
"Oi, 'cah edan, wis tangi awakmu?"(oi, anak gila, sudah bangun kamu?)
Kulirik Kapten Suryo, beberapa saat kemudian aku menangis menggerung-gerung. Aku berusaha bangkit berdiri, namun empat tangan yang kekar menahanku dan menjatuhkanku kembali ke tempat tidur.

"Tenang Gus, tenang.. wis mari, wis mari."(tenang Gus, tenang.. sudah selesai, sudah selesai."
Aku merasakan nyeri di paha kiriku. Dengan sedikit cemas, kutarik selimut bergaris yang menutupinya, dan alangkah bersyukurnya aku saat menyadari kakiku masih ada.
"Bejomu ono Dirman, coba ngga ono, wis dadi batangkon."(untungmu ada Dirman, coba kalau tidak, sudah jadi bangkai kamu)
Kulirik Dirman. Dirman menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Tidak tahan lagi, kurangkul pinggangnya, seluruh takanan batin dan ingatanku akan kepala Parto yang meledak di depan mataku membuatku tak kuat menahan tangis. Aku cengeng, tapi aku tak kuat lagi.

Kami bersama-sama mendengarkan rencana menyerah Jepang terhadap sekutu. Suara penyiar radio bagaikan angin segar yang menyelimuti hati kami. Kupeluk Ngatinah di sampingku, merasakan hangat tubuhnya dan segar bau lidah buaya dari rambutnya.

Upacara pernikahan kami berlangsung khidmat dan aman. Tanpa desing peluru dan suara bom, seakan Allah menyaksikan dan memberkati kami malam itu. Saat penghulu membacakan akad nikah, kurasakan bagai di awang-awang, akhirnya satu mimpiku dapat kucapai, salah, dua, kemerdekaan bangsaku, dan menikahi Ngatinah. Pesta berlangsung cukup meriah, tak salah aku menanggap wayang semalam suntuk, hasil patungan bersama teman-teman. Kubayangkan apabila Parto ada di sini saat ini, tentu ia akan bahagia sekali. Segala-galanya yang membuatku resah kulampiaskan dengan meneguk tuak bersama teman-teman, bahkan Kapten Suryo pun terlihat sedikit mengabaikan keformalitasannya dan bergabung bersama kami. Kulihat dari ujung-ujung mataku Ngatinah yang bercanda bersama teman-temannya, ah betapa ia terlihat sangat cantik malam ini. Kulebarkan senyumku saat ia menatapku dan melengos malu-malu.

Kurasakan kepalaku gontai saat aku mencium bibirnya yang terbuka. Ah, tuak ini memusingkanku. Kubimbing dia ke tempat tidur. Kucium bau nafasnya yang sudah sangat akrab di hidungku. Seperti biasa, kubaringkan ia di dipan tuaku, menciumi lehernya yang jenjang dan kuning langsat, merasakan setiap rintihan dan desahan yang keluar dari mulutnya. Nafasku mulai memburu. Kubuka ikatan 'kemben'nya, melemparnya seenaknya, dan menarik kain batik yang membungkus kakinya. Demi Allah, aku tidak pernah lupa untuk berdecak kagum setiap kulihat kakinya yang mulus dan tanpa cacat. Kuciumi pahanya yang mulus, kulihat rona wajahnya memerah, dan bibirnya tergigit oleh giginya yang putih dan kecil-kecil. Sambil tetap menciumi pahanya, kubuka bajuku. Kurasakan setiap getarannya saat kubelai tubuhnya, terasa dingin oleh hembusan angin malam yang menembus jendela. Tanpa menghiraukan sakit di pahaku, kulepas ikatan tali celanaku, dan kubuka rompi batik hijau transparan yang dikenakannya. Dengan nafas memburu, kubuka pahanya, dan kutekan kejantananku ke lubang kemaluannya. Ngatinah mendesah dan sedikit menjerit.
"Kenapa sayang? Bukankah ini yang selalu ingin kita lakukan, yang selalu kita impikan saat bersama-sama telanjang di balai-balai, saat berduaan di kandang sapi samping rumah Pak Umar."

Gerakan pinggulku semakin cepat, kugeluti leher dan dadanya, menghisap puting susunya, menggigitnya, merasakan setiap cakaran di punggungku dan jambakan di rambutku. Sampai akhirnya tubuhku dan tubuhnya mengejang bersamaan. Kukecup bibirnya, kutelentangkan tubuhku, sejenak menikmati gubuk reotku yang seakan menjadi surga, dan kudekap Ngatinah yang menggelendot kelelahan di dadaku. Ah, betapa indah hidup ini.
Kuangkat kain celanaku sampai ke paha, melihat bekas kehitaman yang merupakan cacat yang selalu kubanggakan. Sejenak memoriku terawang lagi, saat tumor (begitu orang-orang berjubah putih itu menyebutnya) itu membuat Ngatinah tak berdaya dengan perut yang membesar, betapa pertama kali aku terbuai dengan setiap kemungkinan adanya tanda-tanda kehidupan dalam rahimnya. Kulihat ke kanan dan ke kiri. Kulangkahkan kakiku ke samping rumah, mengambil cangkul berkarat yang tergeletak di tanah. Kutujukan langkahku ke bawah sebuah pohon pisang di pekarangan. Setelah menghitung-hitung sebanyak 12 langkah, kuangkat cangkul itu dan sekuat tenaga kuhujamkan ke tanah. Kekuatan otot-ototku yang terlatih tidak membutuhkan waktu lama untuk menggali lubang berukuran 2x1 meter itu. Kuseka peluhku. Matahari mulai tenggelam, meninggalkan rona jingga di langit barat. Kubuang cangkulku dan melangkah masuk ke gubuk tuaku.

Mataku terbentur pada sebuah benda kebiruan yang tergeletak di lantai. Ah, hampir saja pikirku. Kuambil tas itu, dan kusimpan di lemari. Aku melangkah menuju ke kamar, sambil meneliti lantai-lantai kayu rumahku, memastikan tidak ada yang terlupa atau tertinggal. Kugenggam ujung-ujung plastik di hadapanku. Berat. Kupanggul bungkusan plastik besar itu di pundakku, dan melangkah keluar. Setiap upacara penguburan selalu ada doanya, demikian batinku, kulantunkan ayat kursi dalam hati. Damailah tenang di sorga nak.

Lupakan segala yang terjadi di dunia. Dunia ini kejam. Berbahagialah senantiasa. Demikian aku mengakhiri doaku, dengan sedikit bersenandung kurapikan lapisan tanah di hadapanku, berharap tidak seorangpun akan melihatnya. Dinding bambu kehitaman itu menambah mencekamnya suasana, suara anjing-anjing liar terdengar dari kejauhan. Masih juga belum bisa aku memejamkan mataku, terbelenggu oleh ingatan memang bukan merupakan bumbu tidur yang enak. Ingatanku melayang pada kejadian tadi siang, sunggingan di bibirku semakin lebar saat kuingat Minah yang meronta- ronta di bawah tubuhku. Rasanya kembali di saat perjuangan, tidak ada sesuatu yang mudah. Masih teringat betapa keras aku menamparnya, memecahkan sudut-sudut bibirnya yang merah, memercikkan darah yang terasa sangat nikmat saat kujilat. Terbayang pula di mataku, saat rok birunya tersobek dan menampakkan pahanya yang putih dan celana dalamnya yang berwarna merah muda, tidak salah kalau ia menjadi artis dangdut desa di usianya yang masih dini.

Masih terngiang jeritannya yang memilukan saat kejantananku menembus kemaluannya yang kecil dan masih mulus. Ah, betapa nikmatnya jeritan itu, bagaikan suara musik artis kobuki pada jaman jepang. mendayu-dayu dan membuatku terlena. Betapa kuingat bola matanya yang memutar saat kukeluarkan hasratku dalam kemaluannya. Dan terasa damai di hatiku saat kuingat tendangan kerasku yang mengenai rusuk kirinya begitu menyadari ia pingsan. Dasar bocah lemah, begitu saja tidak kuat, bahkan jugun ianfu yang berusia sepuluh tahun saja masih kuat menghadapi hasratku. Anak jaman sekarang memang susah, sudah terlalu manja ditelan budaya-budaya barat. Tapi untunglah, tas tadi cepat kusimpan, seandainya saja aku lupa.

Perlahan senyuman puasku mengantarku ke alam mimpi, mimpi berdansa bersama Ngatinah, dikelilingi musik Koes Ploes dan orkes melayu. Kubayangkan gadis-gadis muda, kembang-kembang desa menari eksotis di sekeliling kami, perlahan membuka baju mereka, menampakkan belahan dan sayatan di leher dan perut mereka, mengucurkan darah yang membanjiri lantai dansa, membuatku dan Ngatinah tertawa dan berjoged semakin kencang.
"Mas Agus, aku sayang kamu Mas."
Kecupanku di bibirnya menandakan perasaanku yang dalam kepadanya.

Seks Bugil Tubuh Seksi Evi

Seks Bugil dan tak terhitung berapa kali aku menelan air liur, saat dia membungkuk dan secara tak sengaja aku mengintip belahan dadanya.

Aku memperhatikan wajahnya yang sekarang begitu dekat dan mencium parfumnya yang bercampur sedikit keringat.

"Capek..?" kataku setelah dia selesai menulis Prnya dan menghela nafas berat kelelahan.
"Iya, sedikit..."
"Apanya yang capek?" tanyaku.
"Tangannya pegel, dari tadi nulis melulu" sembari memijit tangan kanannya.
"Ah, enak kak" desah Evi sambil menikmati pijatanki.

Akupun semakin berani memijat, dari tangan pindah ke bahu, dari bahu pindah ke pangkal leher. Evi terlihat memejamkan mata. Sepertinya Evi meresapi pijatan di pangkal lehernya.

"Enak enggak?" tanyaku parau.
"Enak sekali kak" desah Evi membuat anuku semakin keras.

Akupun memberanikan diri membuka kancing bajunya yang paling atas, dan dia diam saja. Satu kancing baju sudah cukup bagiku untuk melihat betapa mulusnya mundak ABG ini. Akupun melakukan pemijatan yang pelan dan setengah mengelus elus pundak tersebut.

"Ah.. Enak sekali kak, aku jadi ngantuk"

Terlihat Evi sudah sedikit tergoda dengan trik yang kumainkan.

"Enggak papa kalau kamu sambil tiduran, aku pijit komplit deh" Aku menawarkan jasa gratis.
"Enggak ah, begini juga sudah enak." Evi menjawab sambil terpejam.

Aku terangsang bukan kepalang dan burungku sudah berdenyut kencang. Aku meraba pundak dan turun sedikit ke bagian dada atasnya. Dan Evi masih terdiam. Aku melangkah ke belakang tubuhnya dan terus melakukan usapan, dan berusaha menempelkan anuku ke punggungnya. Hangat. Aku beranikan untuk membuka kancing bajunya yang kedua dan dia masih diam sambil terpejam. Aku sudah tak tahan, aku raba dadanya yang montok dengan kedua telapak tanganku dan meremasnya perlahan.

"Ah. Kak... Jangan... Malu, nanti dilihat orang," kata Evi sambil berusaha memegang kedua tanganku.

Tapi Evi tidak berusah menghentikan aktifitas tanganku yang sedang mengelus benda bundar di dadanya. Kemudian aku mencium lehernya yang putih dari belakang.

"Ah... Kak... Aku malu nanti dilihat orang," katanya sambil menghindar dari ciumanku.

Aku terus berusaha mencium lehernya dari belakang saat Evi berusaha berdiri dan memeluknya. Tangan kiriku memeluk perut, tangan kananku memeluk dadanya. Dia Seperti kaget melihat tindakanku yang agresif ini. Tapi Evi tidak berusaha menghindar.

"Evi... Kamu cantik sekali," gumamku dengan suara parau.

Evi hanya berdiri terdiam. Tangannya memgangi tanganku yang meraba dadanya. Matanya terpejam dan mulutnya mendesah.

"Ah... Kakk..."

Tangan kananku berpindah dari dada turun mengelus pahanya. Aku singkap rok birunya, burungku aku tempelkan pada belahan pantatnya yang bahenol. Aku gesekkan kontolku pelan pelan. Enak sekali rasanya. Aku buka kancing ketiga, keempat dan semua...

Evi diam saja. Tangan kananku mencoba meraba daerah terlarangnya, tapi tiba-tiba, tanganku di pegangnya dan ditepiskannya. Tanpa sepatah kata dia berlari ke kamarku yang tidak aku kunci. Aku kaget. Namun aku jadi lega karena ia berlari ke arah kamar. Berarti...

Aku segera menyulus dengan cepat ke arah kamar sambil membenarkan posisi kontolku yang menonjol, karena aku tidak pakai CD. Aku kunci kamar dan aku melihat Evi berdiri di depan cermin besar dengan masih posisi bajunya terbuka, tidak dikancingkan. Aku mendekat dan aku raih mukanya dengan kedua tanganku dan kemudian tanpa kata-kata aku mencium bibirnya yang aduhai.

"Emmm..."

Tangan kananku mencoba membuka pakaian seragam SMPnya. Dan kini terpampang kedua dadanya yang dilapisi BH merah. Dia sudah tidak perduli lagi dengan usahaku, bahkan tangannya merangkul leherku sambil membalas lumatan bibirku.

Aku semakin berani membuka kancing Bhnya, sambil mengelus punggungnya. Sementara bibirku terus mecium bibirnya dengan lahap. Tak ada kata yang terucap, hanya suara beradunya bibir dan dengau nafas yang kian memburu. Aku berhasil membuka Bhnya, tapi kedua tangannya menutupi dadanya seolah tidak boleh dilihat. Aku tidak perduli. Aku singkap rok birunya dan aku elus-elus pantatnya sambil menempelkan kontolku tepat ke selangkangannya. Aku tekan sedikit dengan tanganku yang menempel di pantatnya. Evi pun menekan selangkangannya ke depan.

"Ah..., Evi..."

Aku mencoba membuka resleting roknya dan dengan sekali sentak, jatuhlah rok itu ke lantai.

"Kak... Mau ngapain sihhh pake lepas rokk..." suaranya sudah tidak beraturan.
"Enggak papa, cuma mau liat aja..." jawabku sekenanya.

Tangan kanan Evi menutup vagina nya dan tangan kiri menutup buah dadanya. Tapi aku terus mencium sekenanya.

"Evi... Kakak boleh pegang ini enggak?" tanyaku sambil meraba toketnya.
"Enggak boleh...?" katanya sambil tersenyum manis.
"Sedikit aja, masak enggak boleh sih.." aku merayu.

Evi tidak menjawab dengan kata-kata tapi dia tiba-tiba memelukku dengan menempelkan toketnya ke dadaku. Empuk banget. Enak. Aku pegang payudara sebelah kirinya dengan tangan kananku dan kuremas perlahan.

"Ah..." Evi mendesah.

Tangan kiriku meraba resleting celanaku dan membukanya dan...

"Kak... Eviii takut..." katanya sambil terus melihat ke kontolku yang ngacung tepat ke arah vagina nya yang masih tertutup CD.
"Enggak usah takut, enak kok, nanti kamu rasain aja, pasti ketagihan"

Lalu aku tuntun tangannya untuk memegang kontolku.

"Begini ya bentuknya kontol laki-laki..." kata Evi sambil memegang dan memperhatikan.
"Emang kamu belum pernah tahu?" tanyaku.
"Selama ini Evi hanya baca di stensil dan membayangkan aja... Gimana bentuknya.."

Pantas, pikirku sedikit aneh, karena sejak dari tadi Evi tidak berusaha untuk menghindar atau melawan saat aku kerjai, rupanya dia penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentang lelaki dan membuktikan kebenaran cerita dari stensil yang dia baca.

"Apa semua bentuk kontol laki begini ya...?" Evi bertanya sambil mengelus.
"Eemm... Shhh... Iyyaa... Samaa..." jawabku keenakan karena elusan tangannya. Lalu aku mencium teteknya dan menghisapnya.
"Ahhh... Enak kak..." desahnya.

Tangannya semakin kencang memegang Kontolku. Aku coba membuka CD nya dengan tangan kiri sementara tangan kanan meremas pantatnya. Sedikit turun CD nya. Tapi sudah cukup untuk memamerkan bulu-bulu tebal yang ada di sekitar vagina nya.

"Evi... Enakkk enggak...?" tanyaku basa-basi.
"Enakkk kakk...?" jawabnya dengan mata tertutup.

Lalu aku sodokkan kontolku ke arah vagina nya yang masih rapat karena posisinya berdiri. Hangat dan basah. Aku gesek terus maju mundur dan enak sekali aku rasakan. Evipun terlihat mendesah dan memelukku erat. Pantatnya aku dorong ke arahku seirama dengan sodokanku ke vagina nya.

"Ahh... Ahh... Ehmmm..." Evi mendesah enggak karuan.

Aku sadar bahwa kontol ku tidak masuk ke lubang vagina nya, hanya menggesek bagian luar dan mungkin klit nya. Tapi enaknya bukan kepalang.

"Kak... Aku... Mau pipisss... Ohhh... Kak... Ohhh..." Evi mendesah panjang. Rupanya dia mau klimaks, hanya dia tidak tahu, makanya disebutnya mau pipis.
"Ah... Kakakkk... Juggaaa mauuu... Oh... Shhh... Ouhhh..."

Evi memeluk erat sekali. Semakin erat dan erat... Aku dorong kuat pantatku kedepan dan tanganku mendorong pantanya kuat kuat. Dan muncratlah spermaku.

"Ahhh... Oh... Shhh... Eviii... Ouhhh..."

Evi tak kalah semangatnya. Dia mendorongkan pantatnya maju bersamaan dengan klimak yang ia dapat.
"Kakkk... Ahhh... Ahhh... Shhh..." Dipeluknya aku erat-erat hingga hampir 1 menit.
"shhh... Aduhhh... Enakkk... Viii..."

Gumamku disela-sela pelukannya yang erat. Keringat bercucuran dari kening dan punggung Evi. Aku elus semua tubuhnya dan kuremas payudara dan pantatnya. Tampak ketegangan menyelimuti mukanya yang ayu. Matanya masih tertutup menikmati sisa-sisa kenikmatan yang ada. Setelah itu Evi melepaskan pelukannya dan menuju kasur yang aku gelar sebagai tempat tidur. Dia baringkan tubuhnya di situ dengan kaki di tekuk dan tangan di satukan menutupi toketnya. Matanya kemudian terpejam dengan bibir tersenyum di tahan.

Aku sibuk mencari lap untuk mengelap cairan sperma yang tumpah di lantai dan sisa yang menempel di kontol ku. Sambil mengelap Kontol, aku perhatikan Evi yang terbaring meringkuk di kasur. Ah... Indah sekali bentuk tubuhnya. Aku mengenakan sarung dan menyelimutinya dan duduk di sampingnya.

"Evi... Kamu pernah melakukan ini ya? tanyaku menyelidik.
"Enggak pernah." Jawabnya dengan tegas.
"Tapi kamu kok sepertinya tenang-tenang aja waktu aku..." kataku
"Aku penasaran kak, apa iya enak dan asyik seperti cerita di stensil"
"Kamu enggak keberatan kita begini?" tanyaku.
"Aku juga heran, kenapa aku enggak bias nolak dan sulit untuk melarang."
"Kamu ngarepin juga kan?" kataku sambil tersenyum
"Ihhh... Enak aja..." Evi mencubit pahaku.

Seks Bugil Ninaku...

Seks Bugil kang. Aku langsung menerjang Nina dari belakang sambil mengecup leher putihnya yang indah. Nina kaget dan langsung memutar badannya. Aku langsung mengecup bibir sensualnya.

"Wah.. orang ini enggak ada puasnya..!" kata Nina Menggoda. Langsung saja kucumbu Nina di dapur. Kemudian Dia melorotkan celana dalamku dan mulai menghisap penisku. Wah, ada kemajuan. Hisapannya semakin sempurna dan hebat. Aku pun tak mau kalah. Kuangkat Dia keatas meja dan menarik celana dalamnya dengan gigiku sampai lepas. Tanganku menyusup ke dalam kaos oblongnya. Dan ternyata Nina tak memakai BH. Langsung aja kuremas-remas susunya sambil kujilat-jilat kelentitnya. Nina minta-minta ampun dengan perlakuanku itu dan memohon supaya Aku menuntaskan kerjaanku dengan cepat.

"Kak.. masukin, Kak.. cepat.. oh.. Nina udah enggak tahan, nih!" Mendengar desahan itu, langsung aja kumasukkan penisku kedalam lubang surganya yang telah banjir dengan cairan pelumas. Penisku masuk dengan mulus karena Nina sudah tidak perawan lagi kayak tadi malam. Dengan leluasa Aku menggenjot Nina di atas meja makan.

Setelah sekitar 15 menit, Nina mengalami orgasme dan disusul dengan Aku yang menyemburkan spermaku di dalam vagina Nina.

"Oh.. enak.. Kak.. akh..!" desah Nina. Aku melenguh dengan keras

"Ah.. yes..! Nina, kamu memang hebat.."

Setelah itu kami sarapan dan mandi sama-sama. Lalu kami pergi ke Mall. Jalan-jalan.

Begitulah setiap harinya kami berdua selama seminggu. Setelah itu Om Bagas dan Tante Rita pulang tanpa curiga sedikitpun kamipun merahasiakan semuanya itu. Kalau ada kesempatan, kami sering melakukkannya di dalam kamarku selama sebulan kami membina hubungan terlarang ini. Sampai Aku harus pulang ke Manado. Nina menangis karena kepergianku. Tapi Aku berjanji akan kembali lagi dan memberikan Nina Kenikmatan yang tiada taranya.

Cerita Populer